Masafumi Nagasaki, Orang Yang Hidup Sendiri Di Pulau Sotobanari
Talinews.com, Jepang – Masafumi Nagasaki berusia 76 tahun. Kulit wajahnya penuh oleh kerutan pertanda tua, dipenuhi kumis dan brewok putih. Tubuhnya kurus penuh tonjolan tulang dibawah permukaan kulit. Meski ia orang Jepang yang biasanya berkulit putih, Masafumi memiliki kulit gelap akibat sengatan sinar matahari.
Pulau Sotobanari memiliki lebar sekitar satu kilometer, dan merupakan daerah tropis yang berada di kawasan Okinawa, Jepang. Namun, letak pulau ini sesungguhnya lebih dekat dengan Taiwan dibandingkan Tokyo. Bila diartikan dalam bahasa Indonesia, Sotobanari memiliki arti 'pulau terluar'.
Ia memilih hidup sendiri di Pulau Sotobanari sekitar tahun 1992. Sebelumnya, kehidupan Masafumi disibukkan dengan rutinitas kerja di industri hiburan, yang penuh dengan nuansa hingar-bingar. Namun, ia merasa tidak betah hidup dalam kebisingan kota di Jepang, dan memutuskan untuk meninggalkan semua benda keduniawian yang dimiliki, untuk hidup sendirian di alam liar suatu pulau.
![]() |
| Meski berjalan di pulau dalam kondisi telanjang tidak cocok bagi masyarakat normal, telanjang adalah benar baginya yang tinggal sendirian di Pulau Sotobanari. |
Menurut berita yang dilansir dari Dailymail, Selasa (17/4), saat pertama kali datang di pulau itu, ia mendirikan tenda sebagai 'istana' untuk tempat tinggal sehari-hari. Namun, tenda lenyap melayang saat topan besar melanda. Bahkan, topan juga merusak sebagian besar vegetasi di Pulau Sotobanari, yang diandalkan Masafumi sebagai tempat bernaung.
"Aku terbakar sinar matahari. Pada saat itu, timbul pikiran bahwa tidak mungkin bisa bertahan hidup di sini. Setiap kali ada kapal yang lewat, aku lemparkan baju tinggi-tinggi ke tengah pantai, agar bisa dilihat oleh mereka dan menjemputku," katanya.
Namun, setelah topan melanda, jarang sekali kapal yang melintas. Ia pun kembali bertahan dengan kondisinya yang sangat bergantung pada alam. Bajunya hanya tersisa beberapa helai. Bila hujan melanda di kala malam, semua bajunya yang basah dijemur hingga kering saat siang, dan ia pun harus telanjang.
Lama kelamaan, ia terbiasa tidak mengenakan sehelai benang pun di tubuhnya. Menurutnya, meski berjalan di pulau dalam kondisi telanjang tidak cocok bagi masyarakat normal, telanjang adalah benar baginya yang tinggal sendirian di Pulau Sotobanari.
"Itu (bertelanjang) seperti pakaian seragam di sini. Jika mengenakan pakaian, Anda akan merasa benar-benar tidak berada pada tempatnya," ujar Masafumi.
Pakaian hanya dikenakan sepekan sekali, saat ia pergi ke daratan terdekat, menggunakan perahu yang dibuat sendiri setelah topan melanda. Saat berada di daratan itulah, ia bisa mengambil air bersih dan membeli kue beras yang menjadi makanan pokoknya, dari uang yang dikirimkan oleh keluarganya dan dititipkan pada penduduk daratan, sebesar 9,694 Yen atau setara dengan Rp 1,1 juta setiap bulannya.
Masafumi sadar bahwa kesehariannya bukanlah gaya hidup sehat. Tetapi, bukan itu inti dari pengasingannya dari peradaban modern. "Mencari tempat untuk meninggal merupakan hal penting untuk dilakukan.
Apakah di rumah sakit atau di rumah dengan orang terdekat Anda. Tapi, saya telah memutuskan di pulau ini adalah tempat bagi saya, di kelilingi oleh alam," katanya.
Ia tidak menghiraukan apa yang masyarakat bicarakan tentang dirinya. Menurut Masafumi, ia hanya mengikuti aturan alam.
"Anda tidak bisa mengalahkan kekuatan alam, sehingga Anda harus mematuhi alam sepenuhnya. Itu yang saya pelajari saat datang di pulau ini. Mungkin itulah sebabnya mengapa saya diterima dengan baik di sini," pungkas Masafumi. (art)


